Dia..
Sosok yang terlalu sempurna untuk bersanding denganku.
Ya, aku sadar dan tahu itu. Dia terlalu jauh.. untuk ku gapai
Pagi ini, kembali, kembali disini. SMA TARUNA BANGSA.
Gadis ini –Nara- dengan senyum merekah dan tas ransel merah dipunggunnya, ia
berjalan di koridor. Ia berjalan menuju lokenya. Dibukanya kunci lokernya.
Benda pertama yang ia temukan adalah foto seorang cowo yang tengah mendrible
bola basket. Ia tersenyum manis. Ya, foto itulah yang menjadi salah satu
penyemangatnya tiap pagi. Dimasukkannya bekal makan siang dari dalam tasnya ke
dalam loker, lalu berjalan menuju kelas meninggalkan loker.
***
Bel istirahat kedua berbunyi. Usai
menyelesaikan catatannya, Nara langsung merapikan mejanya,
“Nara, kantin
yuk!”ajakan Gita terdengar dari meja sebelahnya. Nara menoleh lalu tampak
berpikir,
“ng.. lo duluan
aja, ntar gue nyusul” Gita mengehela nafasnya berat. Dihampirinya Nara yang
masih berdiri di samping meja,
“lo masih mau
ngasihin bekal makan siang itu lagi?” tanyanya dengan tatapan.. bosan mungkin.
Dengan ragu Nara mengangguk. Ia tahu, sahabatnya itu sudah jengah dengan
perlakuan Nara selama ini,
“Ra, lo nyadar ngga
sih, lo tuh udah diremehin sama dia, dia mencampakkan lo gitu aja! Lo tau itu
kan?” Gita kembali mengingatkan kejadian-kejadian sebelumnya kepada Nara. Ya,
Nara memang tak melupakan semua itu. Tak ada dendam sedikit pun dihatinya. Ia
hanya tertunduk sedih menahan air matanya. Sejurus kemudian, dirasakannya
pelukan Gita,
“gue sayang sama
dia Git. Apa gue salah kalo punya perasaan itu?” Gita mengeratkan pelukannya.
***
Lapangan basket indoor tampak
sedikit ramai dengan anak-anak basket Taruna Bangsa yang tampaknya baru selesai
berlatih. Seorang cowo dengan kulit putih dan wajah yang ketampanannya bisa
dikatakan diatas rata-rata meneguk habis botol air mineral dalam genggamannya,
“Van” ia mengangkat
kepalanya. Mendapati Nathan menyodorkan kotak makan siang dihadapannya lalu
duduk di sebelahnya,
“nih, ada kertas
juga disitu. Kayanya surat deh, gue ngga berani buka” Vano –cowo tadi- berdecak
malas sambil mengambil kotak makan siang dari tangan Nathan, sahabatnya yang
sudah bersamanya sejak kecil itu. Ditariknya kertas diatas bekal makan siang
itu
Semangat latihan!! Please, kali ini dimakan ya, itu nasi
goreng special buat kamu lho. Aku bakal seneng banget kalo misalnya bekalnya
udah kosong
Nara
“apa sih maunya tuh
cewe”
“Nara cewe yang
baik Van. Baik banget malah”
>>flashback on<<
“Nathan!”Nara
berlari-lari mendekati Nathan yang tampak mengeluarkan baju basket dari
lokernya,
“kenapa Ra?” Nara menyodorkan kotak makan siang
dihadapannya. Nathan meraih bekal itu pelan.
“Tolong kasiin Vano ya. Pasti dia capek banget deh abis
latihan, thank’s ya Nat” Nara tersenyum manis. Senyum manis yang menghiasi
wajah imutnya. Nathan menatap bekal makan siang itu dan Nara bergantian. Gadis
yang tingginya hanya sedagunya itu masih tersenyum tulus. Nathan balas
tersenyum,
“pasti gue kasiin kok” Nara semakin tersenyum senang,
“sekali lagi thank’s ya. Gue balik dulu” Nara pun
berbalik meninggalkan Nathan yang masih mematung memegang bekal di tangannya
sambil menatap punggung mungil Nara,
‘lo terlalu baik Ra’
>>
flashback off <<
“Ck!” Vano kembali
berdecak malas. Dibukanya tutup bekal itu, ada nasi goreng dan telur mata sapi
yang diatasnya dibentuk dua mata dan mulut dengan saos olah Nara. Vano
tersenyum sinis,
“seenggaknya lo
hargai dia Van. Gue bisa liat dia bener-bener tulus” Nathan kembali berujar,
“ya tapi gue ngga
suka Nat. Masa mau dipaksain”
“tapi cara lo salah
bro” Vano menatap Nathan sekilas lalu berdiri membawa bekal tadi dan menyambar
tasnya. Nathan hanya isa geleng-geleng kepala melihat sahabatnya itu.
***
Nara dan Gita tampak asik
berbincang-bincang di taman belakang sekolah. Keduanya ditemani es krim
ditangan masing-masing. Terkadang satu dari mereka tertawa lepas. Ya, sederhana
memang, tapi inilah kebahagiaan yang selalu Nara inginkan,
“eh Ra, gue ke
toilet bentar ya, kebelet nih” Nara menjilat es krim dibibirnya lalau menoleh
kearah Gita,
“oh, oke, jangan
lama ya”
“sip! Bentar ya”
Nara hanya mengangguk lalu kembali menghadap depan dan menikmati es krimnya.
Kakinya masih ia luruskan diatas rumput. Sampai akhirnya, sebuah bekal makan
siang yang sudah kosong diletakkan seseorang diatas pahanya. Segera saja Nara
menoleh keatas dan berdiri,
“Vano?” Vano
menatapnya malas sambil melipat tangan di dada,
“udah gue abisin
kan, gue kasih tau ya sama lo, berhenti ngasih-ngasih bekal kaya gitu ke gue.
Gue bukan anak kecil, dan satu lagi, jangan pernah lo ganggu hidup gue lagi”
usai mengucapkan kata-kata itu, Vano langsung meninggalkan Nara yang mematung.
Es krimnya ditangannya jatuh begitu saja diatas rumput. Tanpa bisa ditahan, air
matanya pun ikut jatuh. Ia menoleh perlahan kearah Vano yang sudah menjauh.
Sakit, itulah yang ia rasakan. Kenapa harus Nara yang merasakan ini?
‘Aku sayang sama kamu. Sayang banget. Apa aku salah? Apa
itu perbuatan fatal?’
Nara membatin sedih, air matanya semakin berlomba-lomba keluar dari pelupuk
matanya. Bersamaan dengan itu, Gita datang dengan tatapan bingung. Gita menoleh
kearah Vano yang sudah menjauh lalu langsung menghampiri Nara,
“Ra, hey lo
kenapa?” Gita menangkup wajah sahabatnya itu. Nara langsung memeluknya dan
menumpahkan kesedihannya di pundak Gita,
“Ra, say something
please..” Gita menggelengkan kepalanya kuas. Gita hanya bisa menghela nafas
berat dan membalas pelukan sahabatnya itu.
***
Bulan-bulan akhir Nara dan
teman-temannya di sekolah, sudah mulai disibukkan dengan berbagai ujian dan try
out. Ya, tahun ini mereka akan meninggalkan sekolah. Meninggalkan segala cerita
yang telah mereka buat selama beberapa tahun ini, tapi tak untuk dilupakan.
Berbagai tes-tes memasuki perguruan tinggi pun sudah mulai diikuti. Ujian akhir
sudah dekat. Dan akan dilanjutkan dengan prom night. Sore ini, tampak Nara
sedang berkutat dengan buku-buku dimeja belajarnya. Sampai ia tak sadar Bunda
sudah masuk ke kamarnya,
“Ra..” Bunda
berjalan mendekat,
“eh, Bunda. Ada apa
Bun?”
“anak Bunda serius
banget belajarnya. Jangan terlalu serius ah, nanti jadi stress lho” canda Bunda
mengundang kekehan Nara,
“ah Bunda bisa aja”
“temenin Bunda yuk
ke rumah Tante Merry. Bunda abis bikin brownies, mau bagi ke Tante Merry juga,
lagian udah lama Bunda nggak kesana” Nara tampak berpikir. Ke rumah Tante
Merry, berarti bertemu Vano. Nara sedang tidak ingin sakit hati lagi saat ini.
Tapi akhirnya ia mengangguk setuju,
“gitu dong. Bunda
tunggu dibawah ya” Nara hanya mengangguk lalu merapikan buku-bukunya.
***
Nara dan Bundanya sudah berdiri di
depan pintu rumah kediaman Vano dan keluarganya. Sekali lagi Bunda menekan bel,
sampai akhirnya,
“iya bentar..”
pintu terbuka, tampak Tante Merry membukakan pintu,
“eh Farah, ya ampun
udah lama banget nggak main. Eh, ada Nara juga, hai sayang. Makin cantik kamu”
Nara tersenyum sambil menyalam Merry,
“iya nih udah lama
nggak main” Bunda berujar,
“eh ayo
masuk-masuk” keduanya pun masuk ke dalam rumah. Mereka langsung disambut oleh
foto pertama, foto Vano kecil. Pipinya tembam kemerahan, tubuhnya pun gendut,
membuatnya terlihat semakin imut. Nara tersenyum kecil melihat foto itu.
“Bentar ya, aku
ambil minum dulu” tak lama, Merry datang membawa dua buah minuman. Kedua sahabat
itu pun langsung tenggelam dalam cerita-cerita mereka dan menganggurkan Nara
yang mulai kebosanan. Saat sedang dilanda bosan, tiba-tibaVano turun dari
tangga dengan wajah yang sangat terlihat baru bangun tidur. Rambutnya yang
acak-acakan tak mengurangi ketampanaannya,
“eh Vano, sini
sayang. Disalam dulu ini Tante Farah, Mamanya Nara. Kamu inget kan?” Vano
tersenyum keci. Ia pun menghampiri Farah yang langsung tersenyum hangat
menyambut tangan Vano,
“abis tidur siang
ya? Vano masih basketan sampe sekarang?” tanya Farah yang masih mengingat hobi
Vano,
“iya Tante, tapi
sekarang ini udah jarang, udah mau UN soalnya” Farah mengangguk mengerti,
“Van, kamu ajak
Nara jalan gih, kasian dia kebosenan” Vano agak kaget mendengar permintaan
Mamanya. Buru-buru Nara memotong,
“ng... ngga usah
Tante. Nara ngga papa kok” ia tersenyum manis. Vano mengangkat bahunya begitu
saja,
“Vano ke dapur dulu
ya Ma, laper. Permisi Tante” Vano pun meninggalkan ruang tamu. Nara menatap
kepergiannya dengan tatapan nanar.
‘Mungkin memang aku yang terlalu sayang sama kamu, sampai
pertemuan singkat ini pun masih membuatku bahagia’
***
Prom night. Acara tahunan yang
selalu ditunggu-tunggu oleh seluruh warga sekolah. Ya, walau mereka tahu ini
adalah akhir pertemuan mereka di sekolah, setidaknya mereka tidak akan membuat
akhir ini terlihat buruk. Malam ini, akan menjadi malam yang paling bersejarah
dalam hidup mereka.
Nara memasuki
kawasan sekolah. Malam ini, ia tampak cantik dan manis dengan dress biru laut
one shoulder tanpa lengan beberapa centi diatas lutut, dan high heels putih
yang menutupi jari-jarinya. Rambut
indahnya hanya sedikit dicurly bagian bawahnya.
Ntah ada berapa
pasang, pasangan malam ini. Bahkan beberapa temannya yang Nara tahu jomblo
saja, tiba-tiba saja sudah memiliki pasangan malam ini. Nara tak pernah
mempermasalahkan itu. Langsung dicarinya Gita diantara kerumunan itu,
“Nara!” Gita
melambaikan tangannya. Dilihatnya Gita meraih satu lagi minuman dari atas meja
lalu menghampiri Nara,
“wow! Lo cantik
banget Nar malam ini, seriusan deh” puji Gita tulus. Diberikannya minuman di
tangan kanannya pada Nara,
“thank you, lo
juga. Eh kita kesana yuk” Gita mengangguk semangat, lalu berjalan beriringan
bersama Nara.
Tibalah acara yang ditunggu-tunggu.
Penampilan dari mereka yang ingin menunjukkan kemampuannya dipanggung malam
ini. Nara dan Gita memilih untuk duduk di kursi penonton bersama teman-teman
lainnya sambil menikmati berbagai penampilan dari teman-temannya yang silih
berganti,
“okey guys, kali
ini giliran penampilan dari salah satu most wanted boy sekolah kita nih! Siapa
lagi kalo bukan Vano and the Band!!!” sang MC segera turun dari panggung,
digantikan Vano dan anggota bandnya yang akan tampil. Nara menahan nafas
melihat Vano. Dengan tuxedo biru tua itu, Vano tampak berkali-kali lebih tampan
dari biasanya. Matanya tak pernah lepas dari Vano selama Vano bernyanyi. Ia
terlalu terpesona.
***
Mata
itu, gue bisa lihat disana. Ada.. ketulusan
***
Nara dan Bundanya berlari-lari
menyusuri lorong rumah sakit yang tampak tidak terlalu sepi. Mereka lalu
berhenti di depan ruangan dengan tulisan UGD. Disana, ada Tante Merry yang
menangis tersedu-sedu di kursi samping ruangan itu,
“Farah?” Bunda
langsung duduk dan memeluk Tante Merry yang masih terus menangis,
“kamu tenang yaa..
aku tahu Vano anak yang kuat. Dia pasti baik-baik aja” Bunda menenangkan Tante
Merry sambil mengusap-usap punggungnya,
“aku takut Far, aku
takut Vano kenapa-napa” Nara kembali meneteskan air matanya. Dalam hati ia
terus berdo’a untuk keselamatan Vano saat ini. Ya, Vano baru saja mengalami
kecelakaan. Motornya ditabrak oleh mobil dari arah yang berlawanan.
‘ya Allah, beri Vano kekuatan. Beri dia kekuatan...’
Nara tak bisa
membendung air matanya yang terus tumpah. Tak lama, dokter keluar dari ruangan
itu. Tante Merry langsung berdiri,
“Dok, bagaimana
keadaan anak saya?”
“saat ini, Vano
benar-benar membutuhkan darah. Vano mengeluarkan cukup banyak darah akibat
kecelakaan itu. Golongan darahnya AB. Apa ada anggota keluarganya yang memiliki
golongan darah yang sama?”
“suami saya Dok.
Tapi suami saya masih dalam perjalanan menuju kesini, apa bisa ditunggu”
“tapi kita butuh
sekarang Bu”
“ambil darah saya
Dok, golongan darah saya AB” Tante Merry tampak kaget mendengar Nara angkat
bicara,
“Nara, jangan
sayang. Kamu..”
“ngga papa Tante,
Nara bersedia kalo itu untuk Vano” katanya tulus. Sebelum Nara benar-benar
pergi, ia ingin memberikan sesuatu yang berguna untuk orang yang benar-benar ia
sayang. Nara sadar dan tahu, mungkin Vano tak akan pernah mungkin menoleh
kearahnya. Tapi rasa sayangnya terlalu besar untuk pria yang dicintainya
beberapa tahun belakang ini,
“mari ikut saya” Nara
pun berjalan mengikuti dokter.
***
Setelah beberapa jam tak sadarkan
diri, akhirnya Vano pun sadarkan diri. Kepalanya benar-benar berat, akhirnya
diputuskannya untuk tetap menutup matanya. Beraharap pusing di kepalanya akan
hilang nantinya. Sampai ia mendengar suara pintu dibuka perlahan. Cepat-cepat
Vano berpura-pura tidur lagi. Ia penasaran siapa orang yang masuk.
Sebuah genggaman di tangan Vano
sedikit mengagetkannya. Tangan itu menggenggam tangannya erat namun lembut.
Dirasakannya tangan itu membawa tangannya ke pipi orang itu. Lembut.
“hey..” suara itu.
Nara. Ya, itu Nara. Sejurus kemudian, sebuah air mata menetes di lengannya.
Tangannya masih diletakkan di pipi Nara,
“aku seneng banget
lho bisa megang tangan kamu gini. Kapan lagi coba bisa kayak gini kalo nggak
pas kamu ngga sadar” Vano mendengar suara kekehan kecil diantara suara sedih
Nara,
“besok, aku udah
berangkat Paris. Aku dapet beasiswa kesana. Aku keterima di universitas disana.
Aku seneng banget lho, tapi..” Nara kembali meneteskan air matanya lalu
melanjutkan kata-katanya dengan berat,
“aku harus ninggalin
kamu. Orang yang selalu aku sayang. Ya aku tau banget, kamu ngga akan pernah
mungkin punya rasa yang sama. Walaupun saat ini kamu belum sadar, aku tau kok
kamu pasti denger. Kamu, akan selalu ada dihati aku Van. Ngga akan ada yang
bisa gantiin, kamu harus tau itu” dirasakannya Nara melepas genggamannya dari
tangannya. Nara membelai rambut Vano yang sedikit berantakan. Lalu ia
mendaratkan kecupan di kening Vano. Cukup lama, lalu ia beranjak berdiri.
“Aku pergi ya Van.
Makasih buat semuanya” Nara pun keluar dari ruangan Vano. Saat pintu tertutup,
Vano langsung membuka matanya. Ntah kenapa, ada rasa penyesalan yang begitu
besar di dalam hatinya, juga rasa... kehilangan.
‘Ya Tuhan, apa gue udah terlalu jahat sama Nara?’
Dan saat ini, Vano
hanya bisa menunduk. Ia meremas rambutnya. Kesal dengan dirinya yang selama ini
benar-benar bodoh. Menyia-nyiakan gadis sebaik Nara. Ia belum sempat
menyampaikan kata maafnya. Ya, kepada Nara. Kinara Renata.
3 tahun kemudian...
Kembali dengan gadis ini. Gadis
mungil yang 3 tahun lalu diterima di Paris International Fashion Academy. Ya,
Kinara. Musim dingin di Paris saat ini membuatnya harus memakai mantel tebal
kemana. Nara merapatkan mantelnya sekali lagi, langkahnya berbelok kearah sebuah
café lalu mendorong pintu café. Ia memilih untuk duduk di sebelah etalase café
yang mengarah langsung ke jalan,
“Garcon (pelayan)!”
“Que voulez-vous commander (mau pesan apa)?”
“hot chocolate
please”
“un chocolat chaud,
attendez une minute (satu coklat panas, ditunggu sebentar)” Nara tersenyum
kecil. Diraihnya tas nya yang ia letakkan di kursi sebelahnya. Saat ia merogoh
tasnya untuk mencari handphonenya, tiba-tiba saja jatuh sebuah foto di atas
paha.
Foto Vano.
Ya, masih foto yang
sama seperti SMA dulu. Foto Vano saat bermain basket. Dimana pria itu sekarang?
Apa dia semakin tampan? Atau mungkin sudah mempunyai kekasih baru diluar sana?
***
Tak seperti yang diperkirakan,
ternyata 3 tahun terakhir ini menjadi tahun yang cukup berat bagi Vano. Saat
ini, lelaki muda itu sedang libur dari kuliahnya di London. Paris menjadi
tempat tujuan liburannya saat ini.
Ntah kenapa,
setelah 3 tahun lalu, saat terakhir dimana Nara meninggalkannya, rasa bersalah
itu selalu saja menghantuinya. Tak hanya itu, jika mengingat air mata gadis
itu, ingin rasanya saat ini ia menghapus air mata itu dan memeluk gadis mungil
yang selalu disakitinya. Cintanya datang terlambat. Sangat terlambat malah.
Vano melangkah memasuki sebuah café. Baru saja
membuka pintu café, tiba-tiba saja…
BUK!!
“oh my God! Sorry.. sorry, I’m so sorry” Vano
buru-buru meminta maaf pada gadis yang hamper dibuatnya jatuh itu. Tangannya
masih menahan kedua bahu gadis itu,
“ya, no problem, it’s ok” gadis itu mengangkat
kepalanya. Langsung saja ia terdiam melihat lelaki dihadapannya saat ini,
“Vano?”
***
Kedua
anak manusia ini tampak berjalan santai
ditepi Seine River. Keduanya masih tak banyak bicara sejak tadi,
“so, how are you Vano?” Nara sedikit mengangkat
wajahnya untuk melihat wajah yang dirindukannya ini,
“fine.. Kamu sendiri?” Nara mengangguk. Mereka
kembali diam,
“ng… kamu dimana sekarang?”
“London. Aku denger
dari Tante Farah, disini kamu keterima di IFA ya?” tanya Vano. Nara mengangguk,
“aku seneng banget,
pas tau aku keterima” Vano diam. Nara jadi bingung sendiri dibuatnya. Perlahan,
Vano menariknya ke sebuah bangku tak jauh dari tempat mereka berjalan.
“Ra, aku.. aku mau
minta maaf, aku juga.. mau ngucapin makasih sama kamu” Vano berkata
terbata-bata,
“for what?”
“for everything.
Ya, you know..”
“okey enough. Aku
ngga mau ngungkit-ungkit soal itu lagi Van” Vano mengangguk pasrah,
“berarti, sekarang
darah aku mengalir di tubuh kamu dong” canda Nara mencoba mencairkan suasana,
Vano langsung menatapnya. Nara terkekeh pelan,
“becanda” Vano
menaikkan sebelah alisnya,
“emang bener kan?”
“Ra, kamu tau,
selama tiga tahun ini, aku ngga bisa berhenti mikirin seorang gadis. Seorang
gadis yang dulu sering aku sakiti, aku kasarin” Nara tersentak mendengarnya.
Air matanya tiba-tiba jatuh lagi. Ia menunduk berusaha menyembunyikan wajahnya,
“tapi saat ini aku
nyesel banget Ra. Aku jatuh cinta sama cewe itu. Bukan karena kasian, tapi
karena ketulusannya” suara isakan Nara pun semakin terdengar jelas. Sampai
akhirnya Nara merasakan tangan Vano mendekapnya erat. Pelukannya membuat Nara
nyaman. Ini yang sejak dulu diinginkannya,
“hey, jangan
nangis. Aku salah ngomong ya?” Vano mengusap air mata Nara dengan ibu jarinya.
Ia menangkup wajah Nara seraya mengelus pipinya dengan Ibu jari. Nara kembali
memeluk Vano. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Vano. Dirasakannya tangan Vano
membelai rambutnya lembut,
“apa kesempatan itu
masih ada Ra?” tanyanya lirih. Dalam pelukan Vano, ia mengangguk,
“selalu ada
kesempatan buat kamu Van” lega. Bahagia. Itulah yang dirasakan Vano saat ini.
Gadis yang ia sakiti, tapi gadis itu pula yang membuatnya jatuh cinat.
Dikecupnya puncak kepala Nara sayang,
“makasih. Makasih
Ra”
“jangan pergi lagi
Van. Aku ngga mau”
“pasti, aku ngga
akan pernah pergi dari sisi kamu” dan sore itu, Paris menjadi saksi cinta
mereka. Saksi bisu dimana Vano menyatakan cintanya didepan gadis yang dahulu
mengejarnya. Nara.
Sometimes, love is unpredictable things -Alika-
Heyho!
Setelah lama ngak ngepost akhirnya ngepost juga. Ini cerpen yang aku janjiin buat ganti
cerbung yang dihapus kemaren. Thank’s buat yang masih mau baca, hope u like it!
J
0 komentar:
Posting Komentar