Rabu, 15 Juli 2015

Untukmu Aku Bertahan

Dia..
Sosok yang terlalu sempurna untuk bersanding denganku. Ya, aku sadar dan tahu itu. Dia terlalu jauh.. untuk ku gapai

            Pagi ini, kembali, kembali disini. SMA TARUNA BANGSA. Gadis ini –Nara- dengan senyum merekah dan tas ransel merah dipunggunnya, ia berjalan di koridor. Ia berjalan menuju lokenya. Dibukanya kunci lokernya. Benda pertama yang ia temukan adalah foto seorang cowo yang tengah mendrible bola basket. Ia tersenyum manis. Ya, foto itulah yang menjadi salah satu penyemangatnya tiap pagi. Dimasukkannya bekal makan siang dari dalam tasnya ke dalam loker, lalu berjalan menuju kelas meninggalkan loker.


***
            Bel istirahat kedua berbunyi. Usai menyelesaikan catatannya, Nara langsung merapikan mejanya,
“Nara, kantin yuk!”ajakan Gita terdengar dari meja sebelahnya. Nara menoleh lalu tampak berpikir,
“ng.. lo duluan aja, ntar gue nyusul” Gita mengehela nafasnya berat. Dihampirinya Nara yang masih berdiri di samping meja,
“lo masih mau ngasihin bekal makan siang itu lagi?” tanyanya dengan tatapan.. bosan mungkin. Dengan ragu Nara mengangguk. Ia tahu, sahabatnya itu sudah jengah dengan perlakuan Nara selama ini,
“Ra, lo nyadar ngga sih, lo tuh udah diremehin sama dia, dia mencampakkan lo gitu aja! Lo tau itu kan?” Gita kembali mengingatkan kejadian-kejadian sebelumnya kepada Nara. Ya, Nara memang tak melupakan semua itu. Tak ada dendam sedikit pun dihatinya. Ia hanya tertunduk sedih menahan air matanya. Sejurus kemudian, dirasakannya pelukan Gita,
“gue sayang sama dia Git. Apa gue salah kalo punya perasaan itu?” Gita mengeratkan pelukannya.

***

            Lapangan basket indoor tampak sedikit ramai dengan anak-anak basket Taruna Bangsa yang tampaknya baru selesai berlatih. Seorang cowo dengan kulit putih dan wajah yang ketampanannya bisa dikatakan diatas rata-rata meneguk habis botol air mineral dalam genggamannya,
“Van” ia mengangkat kepalanya. Mendapati Nathan menyodorkan kotak makan siang dihadapannya lalu duduk di sebelahnya,
“nih, ada kertas juga disitu. Kayanya surat deh, gue ngga berani buka” Vano –cowo tadi- berdecak malas sambil mengambil kotak makan siang dari tangan Nathan, sahabatnya yang sudah bersamanya sejak kecil itu. Ditariknya kertas diatas bekal makan siang itu

Semangat latihan!! Please, kali ini dimakan ya, itu nasi goreng special buat kamu lho. Aku bakal seneng banget kalo misalnya bekalnya udah kosong

Nara

“apa sih maunya tuh cewe”
“Nara cewe yang baik Van. Baik banget malah”

                        >>flashback on<<

            “Nathan!”Nara berlari-lari mendekati Nathan yang tampak mengeluarkan baju basket dari lokernya,
“kenapa Ra?” Nara menyodorkan kotak makan siang dihadapannya. Nathan meraih bekal itu pelan.
“Tolong kasiin Vano ya. Pasti dia capek banget deh abis latihan, thank’s ya Nat” Nara tersenyum manis. Senyum manis yang menghiasi wajah imutnya. Nathan menatap bekal makan siang itu dan Nara bergantian. Gadis yang tingginya hanya sedagunya itu masih tersenyum tulus. Nathan balas tersenyum,
“pasti gue kasiin kok” Nara semakin tersenyum senang,
“sekali lagi thank’s ya. Gue balik dulu” Nara pun berbalik meninggalkan Nathan yang masih mematung memegang bekal di tangannya sambil menatap punggung mungil Nara,
‘lo terlalu baik Ra’

                        >> flashback off <<

“Ck!” Vano kembali berdecak malas. Dibukanya tutup bekal itu, ada nasi goreng dan telur mata sapi yang diatasnya dibentuk dua mata dan mulut dengan saos olah Nara. Vano tersenyum sinis,
“seenggaknya lo hargai dia Van. Gue bisa liat dia bener-bener tulus” Nathan kembali berujar,
“ya tapi gue ngga suka Nat. Masa mau dipaksain”
“tapi cara lo salah bro” Vano menatap Nathan sekilas lalu berdiri membawa bekal tadi dan menyambar tasnya. Nathan hanya isa geleng-geleng kepala melihat sahabatnya itu.
***
            Nara dan Gita tampak asik berbincang-bincang di taman belakang sekolah. Keduanya ditemani es krim ditangan masing-masing. Terkadang satu dari mereka tertawa lepas. Ya, sederhana memang, tapi inilah kebahagiaan yang selalu Nara inginkan,
“eh Ra, gue ke toilet bentar ya, kebelet nih” Nara menjilat es krim dibibirnya lalau menoleh kearah Gita,
“oh, oke, jangan lama ya”
“sip! Bentar ya” Nara hanya mengangguk lalu kembali menghadap depan dan menikmati es krimnya. Kakinya masih ia luruskan diatas rumput. Sampai akhirnya, sebuah bekal makan siang yang sudah kosong diletakkan seseorang diatas pahanya. Segera saja Nara menoleh keatas dan berdiri,
“Vano?” Vano menatapnya malas sambil melipat tangan di dada,
“udah gue abisin kan, gue kasih tau ya sama lo, berhenti ngasih-ngasih bekal kaya gitu ke gue. Gue bukan anak kecil, dan satu lagi, jangan pernah lo ganggu hidup gue lagi” usai mengucapkan kata-kata itu, Vano langsung meninggalkan Nara yang mematung. Es krimnya ditangannya jatuh begitu saja diatas rumput. Tanpa bisa ditahan, air matanya pun ikut jatuh. Ia menoleh perlahan kearah Vano yang sudah menjauh. Sakit, itulah yang ia rasakan. Kenapa harus Nara yang merasakan ini?
‘Aku sayang sama kamu. Sayang banget. Apa aku salah? Apa itu perbuatan fatal?’ Nara membatin sedih, air matanya semakin berlomba-lomba keluar dari pelupuk matanya. Bersamaan dengan itu, Gita datang dengan tatapan bingung. Gita menoleh kearah Vano yang sudah menjauh lalu langsung menghampiri Nara,
“Ra, hey lo kenapa?” Gita menangkup wajah sahabatnya itu. Nara langsung memeluknya dan menumpahkan kesedihannya di pundak Gita,
“Ra, say something please..” Gita menggelengkan kepalanya kuas. Gita hanya bisa menghela nafas berat dan membalas pelukan sahabatnya itu.
***
            Bulan-bulan akhir Nara dan teman-temannya di sekolah, sudah mulai disibukkan dengan berbagai ujian dan try out. Ya, tahun ini mereka akan meninggalkan sekolah. Meninggalkan segala cerita yang telah mereka buat selama beberapa tahun ini, tapi tak untuk dilupakan. Berbagai tes-tes memasuki perguruan tinggi pun sudah mulai diikuti. Ujian akhir sudah dekat. Dan akan dilanjutkan dengan prom night. Sore ini, tampak Nara sedang berkutat dengan buku-buku dimeja belajarnya. Sampai ia tak sadar Bunda sudah masuk ke kamarnya,
“Ra..” Bunda berjalan mendekat,
“eh, Bunda. Ada apa Bun?”
“anak Bunda serius banget belajarnya. Jangan terlalu serius ah, nanti jadi stress lho” canda Bunda mengundang kekehan Nara,
“ah Bunda bisa aja”
“temenin Bunda yuk ke rumah Tante Merry. Bunda abis bikin brownies, mau bagi ke Tante Merry juga, lagian udah lama Bunda nggak kesana” Nara tampak berpikir. Ke rumah Tante Merry, berarti bertemu Vano. Nara sedang tidak ingin sakit hati lagi saat ini. Tapi akhirnya ia mengangguk setuju,
“gitu dong. Bunda tunggu dibawah ya” Nara hanya mengangguk lalu merapikan buku-bukunya.

***
            Nara dan Bundanya sudah berdiri di depan pintu rumah kediaman Vano dan keluarganya. Sekali lagi Bunda menekan bel, sampai akhirnya,
“iya bentar..” pintu terbuka, tampak Tante Merry membukakan pintu,
“eh Farah, ya ampun udah lama banget nggak main. Eh, ada Nara juga, hai sayang. Makin cantik kamu” Nara tersenyum sambil menyalam Merry,
“iya nih udah lama nggak main” Bunda berujar,
“eh ayo masuk-masuk” keduanya pun masuk ke dalam rumah. Mereka langsung disambut oleh foto pertama, foto Vano kecil. Pipinya tembam kemerahan, tubuhnya pun gendut, membuatnya terlihat semakin imut. Nara tersenyum kecil melihat foto itu.
“Bentar ya, aku ambil minum dulu” tak lama, Merry datang membawa dua buah minuman. Kedua sahabat itu pun langsung tenggelam dalam cerita-cerita mereka dan menganggurkan Nara yang mulai kebosanan. Saat sedang dilanda bosan, tiba-tibaVano turun dari tangga dengan wajah yang sangat terlihat baru bangun tidur. Rambutnya yang acak-acakan tak mengurangi ketampanaannya,
“eh Vano, sini sayang. Disalam dulu ini Tante Farah, Mamanya Nara. Kamu inget kan?” Vano tersenyum keci. Ia pun menghampiri Farah yang langsung tersenyum hangat menyambut tangan Vano,
“abis tidur siang ya? Vano masih basketan sampe sekarang?” tanya Farah yang masih mengingat hobi Vano,
“iya Tante, tapi sekarang ini udah jarang, udah mau UN soalnya” Farah  mengangguk mengerti,
“Van, kamu ajak Nara jalan gih, kasian dia kebosenan” Vano agak kaget mendengar permintaan Mamanya. Buru-buru Nara memotong,
“ng... ngga usah Tante. Nara ngga papa kok” ia tersenyum manis. Vano mengangkat bahunya begitu saja,
“Vano ke dapur dulu ya Ma, laper. Permisi Tante” Vano pun meninggalkan ruang tamu. Nara menatap kepergiannya dengan tatapan nanar.
‘Mungkin memang aku yang terlalu sayang sama kamu, sampai pertemuan singkat ini pun masih membuatku bahagia’

***

            Prom night. Acara tahunan yang selalu ditunggu-tunggu oleh seluruh warga sekolah. Ya, walau mereka tahu ini adalah akhir pertemuan mereka di sekolah, setidaknya mereka tidak akan membuat akhir ini terlihat buruk. Malam ini, akan menjadi malam yang paling bersejarah dalam hidup mereka.
Nara memasuki kawasan sekolah. Malam ini, ia tampak cantik dan manis dengan dress biru laut one shoulder tanpa lengan beberapa centi diatas lutut, dan high heels putih yang menutupi jari-jarinya.  Rambut indahnya hanya sedikit dicurly bagian bawahnya.
Ntah ada berapa pasang, pasangan malam ini. Bahkan beberapa temannya yang Nara tahu jomblo saja, tiba-tiba saja sudah memiliki pasangan malam ini. Nara tak pernah mempermasalahkan itu. Langsung dicarinya Gita diantara kerumunan itu,
“Nara!” Gita melambaikan tangannya. Dilihatnya Gita meraih satu lagi minuman dari atas meja lalu menghampiri Nara,
“wow! Lo cantik banget Nar malam ini, seriusan deh” puji Gita tulus. Diberikannya minuman di tangan kanannya pada Nara,
“thank you, lo juga. Eh kita kesana yuk” Gita mengangguk semangat, lalu berjalan beriringan bersama Nara.
            Tibalah acara yang ditunggu-tunggu. Penampilan dari mereka yang ingin menunjukkan kemampuannya dipanggung malam ini. Nara dan Gita memilih untuk duduk di kursi penonton bersama teman-teman lainnya sambil menikmati berbagai penampilan dari teman-temannya yang silih berganti,
“okey guys, kali ini giliran penampilan dari salah satu most wanted boy sekolah kita nih! Siapa lagi kalo bukan Vano and the Band!!!” sang MC segera turun dari panggung, digantikan Vano dan anggota bandnya yang akan tampil. Nara menahan nafas melihat Vano. Dengan tuxedo biru tua itu, Vano tampak berkali-kali lebih tampan dari biasanya. Matanya tak pernah lepas dari Vano selama Vano bernyanyi. Ia terlalu terpesona.

***

            Mata itu, gue bisa lihat disana. Ada.. ketulusan


***

            Nara dan Bundanya berlari-lari menyusuri lorong rumah sakit yang tampak tidak terlalu sepi. Mereka lalu berhenti di depan ruangan dengan tulisan UGD. Disana, ada Tante Merry yang menangis tersedu-sedu di kursi samping ruangan itu,
“Farah?” Bunda langsung duduk dan memeluk Tante Merry yang masih terus menangis,
“kamu tenang yaa.. aku tahu Vano anak yang kuat. Dia pasti baik-baik aja” Bunda menenangkan Tante Merry sambil mengusap-usap punggungnya,
“aku takut Far, aku takut Vano kenapa-napa” Nara kembali meneteskan air matanya. Dalam hati ia terus berdo’a untuk keselamatan Vano saat ini. Ya, Vano baru saja mengalami kecelakaan. Motornya ditabrak oleh mobil dari arah yang berlawanan.
‘ya Allah, beri Vano kekuatan. Beri dia kekuatan...’
Nara tak bisa membendung air matanya yang terus tumpah. Tak lama, dokter keluar dari ruangan itu. Tante Merry langsung berdiri,
“Dok, bagaimana keadaan anak saya?”
“saat ini, Vano benar-benar membutuhkan darah. Vano mengeluarkan cukup banyak darah akibat kecelakaan itu. Golongan darahnya AB. Apa ada anggota keluarganya yang memiliki golongan darah yang sama?”
“suami saya Dok. Tapi suami saya masih dalam perjalanan menuju kesini, apa bisa ditunggu”
“tapi kita butuh sekarang Bu”
“ambil darah saya Dok, golongan darah saya AB” Tante Merry tampak kaget mendengar Nara angkat bicara,
“Nara, jangan sayang. Kamu..”
“ngga papa Tante, Nara bersedia kalo itu untuk Vano” katanya tulus. Sebelum Nara benar-benar pergi, ia ingin memberikan sesuatu yang berguna untuk orang yang benar-benar ia sayang. Nara sadar dan tahu, mungkin Vano tak akan pernah mungkin menoleh kearahnya. Tapi rasa sayangnya terlalu besar untuk pria yang dicintainya beberapa tahun belakang ini,
“mari ikut saya” Nara pun berjalan mengikuti dokter.

***

            Setelah beberapa jam tak sadarkan diri, akhirnya Vano pun sadarkan diri. Kepalanya benar-benar berat, akhirnya diputuskannya untuk tetap menutup matanya. Beraharap pusing di kepalanya akan hilang nantinya. Sampai ia mendengar suara pintu dibuka perlahan. Cepat-cepat Vano berpura-pura tidur lagi. Ia penasaran siapa orang yang masuk.
            Sebuah genggaman di tangan Vano sedikit mengagetkannya. Tangan itu menggenggam tangannya erat namun lembut. Dirasakannya tangan itu membawa tangannya ke pipi orang itu. Lembut.
“hey..” suara itu. Nara. Ya, itu Nara. Sejurus kemudian, sebuah air mata menetes di lengannya. Tangannya masih diletakkan di pipi Nara,
“aku seneng banget lho bisa megang tangan kamu gini. Kapan lagi coba bisa kayak gini kalo nggak pas kamu ngga sadar” Vano mendengar suara kekehan kecil diantara suara sedih Nara,
“besok, aku udah berangkat Paris. Aku dapet beasiswa kesana. Aku keterima di universitas disana. Aku seneng banget lho, tapi..” Nara kembali meneteskan air matanya lalu melanjutkan kata-katanya dengan berat,
“aku harus ninggalin kamu. Orang yang selalu aku sayang. Ya aku tau banget, kamu ngga akan pernah mungkin punya rasa yang sama. Walaupun saat ini kamu belum sadar, aku tau kok kamu pasti denger. Kamu, akan selalu ada dihati aku Van. Ngga akan ada yang bisa gantiin, kamu harus tau itu” dirasakannya Nara melepas genggamannya dari tangannya. Nara membelai rambut Vano yang sedikit berantakan. Lalu ia mendaratkan kecupan di kening Vano. Cukup lama, lalu ia beranjak berdiri.
“Aku pergi ya Van. Makasih buat semuanya” Nara pun keluar dari ruangan Vano. Saat pintu tertutup, Vano langsung membuka matanya. Ntah kenapa, ada rasa penyesalan yang begitu besar di dalam hatinya, juga rasa... kehilangan.
‘Ya Tuhan, apa gue udah terlalu jahat sama Nara?’
Dan saat ini, Vano hanya bisa menunduk. Ia meremas rambutnya. Kesal dengan dirinya yang selama ini benar-benar bodoh. Menyia-nyiakan gadis sebaik Nara. Ia belum sempat menyampaikan kata maafnya. Ya, kepada Nara. Kinara Renata.

3 tahun kemudian...


            Kembali dengan gadis ini. Gadis mungil yang 3 tahun lalu diterima di Paris International Fashion Academy. Ya, Kinara. Musim dingin di Paris saat ini membuatnya harus memakai mantel tebal kemana. Nara merapatkan mantelnya sekali lagi, langkahnya berbelok kearah sebuah café lalu mendorong pintu café. Ia memilih untuk duduk di sebelah etalase café yang mengarah langsung ke jalan,
“Garcon (pelayan)!”
Que voulez-vous commander (mau pesan apa)?”
“hot chocolate please”
“un chocolat chaud, attendez une minute (satu coklat panas, ditunggu sebentar)” Nara tersenyum kecil. Diraihnya tas nya yang ia letakkan di kursi sebelahnya. Saat ia merogoh tasnya untuk mencari handphonenya, tiba-tiba saja jatuh sebuah foto di atas paha.
Foto Vano.
Ya, masih foto yang sama seperti SMA dulu. Foto Vano saat bermain basket. Dimana pria itu sekarang? Apa dia semakin tampan? Atau mungkin sudah mempunyai kekasih baru diluar sana?

***

            Tak seperti yang diperkirakan, ternyata 3 tahun terakhir ini menjadi tahun yang cukup berat bagi Vano. Saat ini, lelaki muda itu sedang libur dari kuliahnya di London. Paris menjadi tempat tujuan liburannya saat ini.
Ntah kenapa, setelah 3 tahun lalu, saat terakhir dimana Nara meninggalkannya, rasa bersalah itu selalu saja menghantuinya. Tak hanya itu, jika mengingat air mata gadis itu, ingin rasanya saat ini ia menghapus air mata itu dan memeluk gadis mungil yang selalu disakitinya. Cintanya datang terlambat. Sangat terlambat malah.
             Vano melangkah memasuki sebuah café. Baru saja membuka pintu café, tiba-tiba saja…
BUK!!
“oh my God! Sorry.. sorry, I’m so sorry” Vano buru-buru meminta maaf pada gadis yang hamper dibuatnya jatuh itu. Tangannya masih menahan kedua bahu gadis itu,
“ya, no problem, it’s ok” gadis itu mengangkat kepalanya. Langsung saja ia terdiam melihat lelaki dihadapannya saat ini,
“Vano?”

***

            Kedua anak  manusia ini tampak berjalan santai ditepi Seine River. Keduanya masih tak banyak bicara sejak tadi,
“so, how are you Vano?” Nara sedikit mengangkat wajahnya untuk melihat wajah yang dirindukannya ini,
“fine.. Kamu sendiri?” Nara mengangguk. Mereka kembali diam,
“ng… kamu dimana sekarang?”
“London. Aku denger dari Tante Farah, disini kamu keterima di IFA ya?” tanya Vano. Nara mengangguk,
“aku seneng banget, pas tau aku keterima” Vano diam. Nara jadi bingung sendiri dibuatnya. Perlahan, Vano menariknya ke sebuah bangku tak jauh dari tempat mereka berjalan.
“Ra, aku.. aku mau minta maaf, aku juga.. mau ngucapin makasih sama kamu” Vano berkata terbata-bata,
“for what?”
“for everything. Ya, you know..”
“okey enough. Aku ngga mau ngungkit-ungkit soal itu lagi Van” Vano mengangguk pasrah,
“berarti, sekarang darah aku mengalir di tubuh kamu dong” canda Nara mencoba mencairkan suasana, Vano langsung menatapnya. Nara terkekeh pelan,
“becanda” Vano menaikkan sebelah alisnya,
“emang bener kan?”
“Ra, kamu tau, selama tiga tahun ini, aku ngga bisa berhenti mikirin seorang gadis. Seorang gadis yang dulu sering aku sakiti, aku kasarin” Nara tersentak mendengarnya. Air matanya tiba-tiba jatuh lagi. Ia menunduk berusaha menyembunyikan wajahnya,
“tapi saat ini aku nyesel banget Ra. Aku jatuh cinta sama cewe itu. Bukan karena kasian, tapi karena ketulusannya” suara isakan Nara pun semakin terdengar jelas. Sampai akhirnya Nara merasakan tangan Vano mendekapnya erat. Pelukannya membuat Nara nyaman. Ini yang sejak dulu diinginkannya,
“hey, jangan nangis. Aku salah ngomong ya?” Vano mengusap air mata Nara dengan ibu jarinya. Ia menangkup wajah Nara seraya mengelus pipinya dengan Ibu jari. Nara kembali memeluk Vano. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Vano. Dirasakannya tangan Vano membelai rambutnya lembut,
“apa kesempatan itu masih ada Ra?” tanyanya lirih. Dalam pelukan Vano, ia mengangguk,
“selalu ada kesempatan buat kamu Van” lega. Bahagia. Itulah yang dirasakan Vano saat ini. Gadis yang ia sakiti, tapi gadis itu pula yang membuatnya jatuh cinat. Dikecupnya puncak kepala Nara sayang,
“makasih. Makasih Ra”
“jangan pergi lagi Van. Aku ngga mau”
“pasti, aku ngga akan pernah pergi dari sisi kamu” dan sore itu, Paris menjadi saksi cinta mereka. Saksi bisu dimana Vano menyatakan cintanya didepan gadis yang dahulu mengejarnya. Nara.



Sometimes, love is unpredictable things -Alika-







Heyho! Setelah lama ngak ngepost akhirnya ngepost juga. Ini cerpen yang aku janjiin buat ganti cerbung yang dihapus kemaren. Thank’s buat yang masih mau baca, hope u like it! J

0 komentar:

Posting Komentar

 

My Wonderful World Template by Ipietoon Cute Blog Design